Oleh: Asmu'i
Ramadhan, kehadiranmu kami tunggu, kami harapkan, dan kami butuhkan. Dan kini, kau sudah di ambang pintu kami. Ramadhan, walau masih berada di ambang pintu, tapi wibawamu begitu terasa, begitu menyentuh, sehingga mampu merajut pundi-pundi kekuatan dalam diri ini, untuk bangkit menyambutmu.
Ramadhan, bulan yang begitu kami tunggu-tunggu, bulan yang agung lagi penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan.
Ramadhan, kau bulan Al-Qur’an, bulan ampunan, bulan kasih sayang, bulan doa, bulan taubat, bulan kesabaran, dan bulan pembebasan dari api neraka.Karena itu, sungguh kau penuh makna, sangat indah dan agung bagi orang-orang yang beriman. Kau mampu menggetarkan dada ini, menggetarkan jiwa ini, membuat jantung ini berdetak lebih kencang dan kencang, gelora rindu tiada terkira.
Ramadhan, kata yang mengingatkan kami pada 'mata' para muttaqin yang selalu basah mengiringi detik demi detik belaian kemuliaannya, air mata tulus, haru, dan penuh harap serta cemas. Ramadhan, kau juga mengingatkan kami pada lisan-lisan yang selalu basah karena zikir, tasbih, yang diucapkan tiada henti. Ramadhan, kau tak pernah jenuh kami ucapkan, tiada pernah kering kami diskusikan, dan kau tak pernah sirna diterjang ganasnya zaman. Sungguh, bisa bertemu denganmu adalah satu nikmat yang tiada terkira dari Allah SWT. Marhaban ya Ramadhan, Marhaban ya syahras-shiyam.
Kami Menyambutmu, ya Ramadhan
Ramadhan, kau adalah tamu istimewa kami. Sebagai tuan rumah, kami berkewajiban untuk menyambut dan melayanimu dengan penuh suka cita dan tulus. Bahkan, kau bukanlah sembarang tamu, sebab kau merupakan anugerah khusus dari Allah SWT yang luar biasa.
...Kita tanyakan pada diri kita: sudah berapa kali kami berpuasa Ramadhan? Apa hasil puasa selama itu?
Namun yang menjadi pertanyaan kami adalah jika hari ini kami ditanya, sudah berapa kali kami berpuasa Ramadhan? Jawabannya sudah berkali-kali. Pertanyaan ini mudah kami lontarkan. Tapi tatkala kami ditanya lebih jauh, apa hasil puasa selama itu? Sungguh, lidah kami tiba-tiba terasa kelu. Bukan karena benar-benar sulit bicara (menjawab), tapi lebih karena ketersentakan kami, bahwa kami memang belum mendapat 'banyak hal' dari kebersamaan denganmu.
Kau telah menawarkan begitu banyak hikmah dan fadhilah, tapi rasanya terlalu sedikit yang baru bisa kami gapai. Yang ada justru berupa rutinitas tahunan, tak lebih dari itu. Lalu, apa yang harus kami persiapkan untuk pertemuan kita kali ini? Kami akan mengkajinya.
Klasifikasi Al-Ghazali dan Totalitas Ibadah
Agar ibadah Ramadhan kita benar-benar maksimal, tentu butuh persiapan. Untuk tahu "apa" yang harus dipersiapkan, menarik kiranya menyimak pengelompokan Imam Al-Ghazali terhadap orang-orang yang berpuasa. Beliau menyampaikan itu dalam salah satu kitabnya Ihya' 'Ulumiddin pada bab "fi asrari as-shaum wa syuruthihi al-bathinah" (Juz: 1, p: 235-237).
Imam Al-Ghazali mengelompokkan kaum Muslimin yang berpuasa dalam tiga kategori. Pertama, puasanya orang-orang awam Shaumu al-'Umum). Kelompok ini berpuasa tidak lebih dari sekadar menahan lapar, haus, dan hubungan seksual di siang hari Ramadhan. Kedua, kelompok Shaumu al-Khusus, yakni mereka yang selain menahan lapar, haus dan hubungan suami istri di siang hari, juga menjaga lisan, mata, telinga, hidung, dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan maksiat dan sia-sia.
Sementara kelompok ketiga adalah mereka yang berada dalam kategori khususul khusus atau al-Khawwas. Mereka tidak saja menjaga telinga, mata, lisan, tangan, dan kaki dari segala yang menjurus pada maksiat kepada Allah, akan tetapi mereka juga menjaga hatinya dari selain mengingat Allah. Mereka mengisi rongga hatinya hanya untuk mengingat Allah semata-mata. Mereka tidak menyisakan ruang sedikitpun dalam hatinya untuk urusan duniawi. Mereka benar-benar mengontrol hatinya dari segala detakan niat yang menjurus pada urusan duniawi.
Pertanyaannya, kira-kira kita termasuk kelompok yang mana? Silakan kita jawab masing-masing.
...Esensi dari puasa atau ibadah-ibadah lainnya bukan pada kuantitas (jumlahnya) saja, tapi yang lebih penting dari itu adalah pada kualitas ibadah kita....
Pelajaran mendasar yang bisa kita ambil dari pandangan Imam Al-Ghazali ini adalah, bahwa yang esensi (pokok) dari puasa atau ibadah-ibadah lainnya bukan pada kuantitas (jumlahnya) saja, tapi yang lebih penting dari itu adalah pada kualitas ibadah kita. Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan upaya memaksimalkan ibadah kita di bulan suci Ramadhan ini, mari kita secara sadar dan serius berusaha meningkatkan kualitas ibadah kita, baik itu ibadah puasa secara khusus maupun ibadah-ibadah kita yang lain.
Meningkatkan Kualitas Ibadah
Berbicara mengenai kualitas ibadah berarti berbicara mengenai ilmu beribadah. Sedangkan ilmu beribadah itu sendiri tidak lepas dari pembicaraan mengenai bagaimana Allah SWT mensyari'atkannya, dan bagaimana Rasul-Nya mencontohkan kepada umat Islam. Artinya, dapat ditegaskan bahwa dalam Islam, beribadah bukanlah perbuatan yang berasal dari rekaan (spekulasi) manusia semata. Tapi ia harus disandarkan pada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.
Oleh sebab itu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin telah menyatakan: "Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan hamba sehingga dia tahu bagaimana beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan para hamba-Nya."
Dengan demikian, jika tidak berilmu, lantas, bagaimana mungkin kita bisa beribadah dengan baik? Bagaimana mungkin ibadah kita berkualitas? Artinya benar sesuai syara'. Bahkan kita bisa bertanya lebih jauh lagi, jika tidak bersandarkan pada Syari'at Islam, apakah yang dilakukan itu disebut sebagai ibadah? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab dan buktikan bahwa kita tidak demikian (beribadah tanpa ilmu).
...Mari kita isi dengan terus mendalami dan mendiskusikan 'apa-apa' yang belum kita ketahui, atau yang kurang kita pahami, baik melalui kajian pada sumbernya secara langsung...
Tidak ada kata terlambat, di sisa waktu yang ada ini, mari kita isi dengan terus mendalami dan mendiskusikan 'apa-apa' yang belum kita ketahui, atau yang kurang kita pahami, baik melalui kajian pada sumbernya secara langsung, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, maupun melalui pemahaman para Salafus-Shalih, yakni para sahabat radhiyallahu ‘anhum, serta para pengikut pola hidupnya hingga hari akhir. Agar kita benar-benar tahu, apa, mengapa, dan bagaimana seharusnya kita melewati bulan suci Ramadhan yang disyariatkan oleh Allah SWT.
Ramadhan, Momentum Pembiasaan Diri
Ramadhan, bulan yang begitu mulia itu, mari kita jadikan momentum untuk secara sadar, penuh rasa keterpanggilan, tanggung jawab, keseriusan bahkan sebagai sebuah kewajiban untuk menuntut ilmu. Bermula dari keinginan kuat untuk menjadikan Ramadhan kali ini bermakna, tidak sia-sia, maka mari terus kita pupuk keinginan tersebut, terus kita tingkatkan, hingga kita terbiasa dengan itu. Hal tersebut sangat penting, sebab tanpa ilmu, kaki kita akan lebih sering tergelincir daripada benarnya. Makanya dalam Islam, tidak ada kata selesai dalam menuntut ilmu, tidak karena alasan hidup yang dibuat-buat; baik karena alasan sudah terlalu tua, tidak lagi kuliah, sibuk bekerja, dan karena jenis-jenis sibuk yang lain.
Mari kita lihat sejarah, seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad, walaupun beliau telah hafal begitu banyak hadits, namun tidak pernah lepas dari pena dan tinta. Saat beliau ditanya oleh seseorang, "sampai kapankah Anda membawa tinta?" Beliau menjawab, "membawa tinta sampai ke kubur."
...bulan Ramadhan bisa kita jadikan momentum untuk kembali menanyakan, sudah seberapa jauh pengamalan ilmu yang kita miliki...
Selanjutnya, bulan Ramadhan juga bisa kita jadikan momentum untuk kembali melihat dan menanyakan, sudah seberapa jauh pengamalan ilmu yang kita miliki. Koreksi diri dan pertanyaan seperti itu penting dan mendesak, sebab kita wajib mengamalkan ilmu yang kita miliki. Allah swt berfirman yang artinya:
"Mengapa kamu menyuruh manusia (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri" (Qs Al-Baqarah 44).
Ayat ini sebagai peringatan kepada orang yang hanya pandai menyuruh orang lain untuk berbuat baik, tapi dirinya sendiri tidak mengerjakannya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Wahidi dan Ats-Tsa'labi dari Al-Kalbi, dari Abi shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Dalam kaitan ilmu dan amal ini, Khalifah Umar bin Khatthab juga pernah berkata: "Sesungguhnya di antara yang saya khawatirkan terjadi pada umat ini adalah adanya seorang munafik yang 'alim." Orang-orang bertanya, "Bagaimana ada munafik tapi alim?" Beliau menjawab, "Yakni orang yang hanya pintar di lidah, namun bodoh dalam hati dan amalnya."
Seharusnya kita memperhatikan firman Allah SWT: "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya."
Mengingat begitu pentingnya peran amal dalam kehidupan manusia tersebut, sampai-sampai Syaikh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya "Ayyuha al-Walad" menegaskan bahwa, kita mendapatkan Rahmat Allah swt bukan hanya karena kita telah punya banyak ilmu, bukan pula karena kita telah mengumpulkan sekian ribu kitab/buku, tapi ia datang setelah kita mengamalkan ilmu kita, setelah kita membuktikan keimanan kita.
Penutup
Kesadaran kita untuk menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu inilah yang sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas ibadah kita, khususnya di bulan Ramadhan ini. Yang terpenting, kita tidak boleh lelah untuk secara bertahap dan sungguh-sungguh mengamalkan ilmu kita. Sebab semua itu tidak bisa terjadi secara tiba-tiba. Perlu latihan dan totalitas.
...Kesadaran kita untuk menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu inilah yang sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas ibadah kita, khususnya di bulan Ramadhan ini...
Mudah-mudahan pada Ramadhan kali ini, kita bisa berada pada golongan kedua sebagaimana yang digambarkan oleh Imam Al-Ghazali di atas. Atau, tidak mustahil kita malah berada pada golongan yang paling tinggi, yaitu Khususul Khusus, sehingga Ramadhan benar-benar menjadi ajang revolusi jiwa kita menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Agar kita tidak mudah diombang-ambingkan oleh zaman, kondisi dan lika-liku kehidupan. Wallahu a'lamu bi as-shawab.
*) Penulis adalah Mahasiswa pada Program Pasca Sarjana di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Fakultas Ushuluddin.
Komentar